Pada hari senin kemarin (15/04/19)
aku menghadiri acara Ngobrolin Hutan Sosial yang membahas tentang peluncuran
buku Dampak Perhutanan Sosial Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan yang
ditulis oleh tim, salah satu penulisnya adalah Prof. Mudrajad Kuncoro, SE.
M.Soc. Sc,Ph.D yang merupakan guru besar ilmu ekonomi fakultas Ekonomi dan
Bisnis di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Bincang-bincangnya sangat
seru, sehingga menambah pengetahuanku tentang perhutanan yang ada di Indonesia.
Sebagaimana yang kita ketahui
keberadaan hutan sangatlah penting untuk kehidupan. Hutan memberikan banyak
manfaat untuk kehidupan, selain bermanfaat untuk menyerap karbondioksida dan
menjadi paru-paru dunia, hutan juga dapat memberikan dampak terhadap ekonomi
masyarakat, salah satunya adalah untuk kesejahteraan penduduk pedesaan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk pedesaan di sekitar hutan, maka masyarakat juga dlibatkan dalam
berbagai kegiatan pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal. Oleh karenanya,
pada saat itu lahir sebuah paradigma baru dalam pembangunan hutan yang disebut
dengan perhutanan sosial (Social Foresty).
Untuk menopang pengelolaan sumber
daya hutan, pemerintah juga berusaha untuk memperkuat tiga aspek terhadap
dampak perubahan iklim, meski belum semuanya optimal.
Pertama adalah aspek pengakuan hak atas sumber daya sebagai alas hukum kepemilikan hutan secara komunal. Berdasarkan
penerbitan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa
hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan
negara. Berdasarkan keputusan MK masyarakat hukum adat mempunyai kepemilikan
atas hutan yang syarat-syaratnya akan ditentukan dengan peraturan.
Kedua adalah aspek penciptaan akses
atas sumber daya hutan. Akses rakyat terhadap sumber daya adalah perintah
konstitusi untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Ketiga adalah aspek insentif untuk
perbaikan mutu lahan. Di daerah wisata seperti Bali, hamparan lahan milik pribadi yang ada pada satu lanskap yang menarik dan cukup luas, didesain
sebagai kawasan terbuka hijau. Insentif yang diberikan kepada pemilik
diantaranya berupa pengurangan nilai pembayaran pajak atas tanah, peniadaan
beban pajak selama kurun waktu tertentu, akses atas bibit pohon dan
pemeliharaan lahan, jaminan pembelian pohon-pohon tua layak tebang, sampai pada
insentf langsung berupa uang tunai.
Dari ketiga aspek di atas, Hutan
Kemasyarakatan (HKm) juga memberikan dampak ekonomi dan dampak sosial terhadap
masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Akan tetapi, “masih ada 51% masyarakat
yang belum paham mengenai HKm” jelas Prof. Mudrajad Kuncoro sebagai narasumber
pada acara Ngobrolin Hutan Sosial.
Program Hutan Kemasyarakatan juga memberikan dampak ekonomi. Seperti yang dijelaskan dalam buku Dampak Perhutanan Sosial Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, diantaranya terdapat dampak produksi dan dampak pendapatan.
Pada dampak produksi, dalam buku yang ditulis
oleh Prof. Mudrajad Kuncoro, SE. M.Soc. Sc,Ph.D, dkk mengambil contoh pada
petani HKm di Kabupaten Tanggamus dan petani HKm di wilayah Yogyakarta.
Responden di Kabupaten Tanggamus merupakan
petani kopi dan juga memiliki tanaman sampingan lain seperti lada, pisang,
cengkeh dan tanaman sayuran. Tanaman tersebut memiliki masa panen baik harian,
bulanan, triwulanan atau pun tahunan. Sehingga petani dapat menghitung jumlah
produksi yang dihasilkan setiap waktu panen.
Berbeda dengan produksi yang
dihasilkan oleh HKm tani Manunggal yang berada di wilayah Yogya, tepatnya di
dusun Menggoran II, Desa Bleberan, Playen, Gunungkidul dan kelompok HKm tani
Mandiri di Dusun Kalibiru, Desa
Hargowilis, Kokap, Kulon Progo.
HKm tani Manunggal memiliki tanaman
utama berupa pohon jati (hutan lindung) yang tidak dapat dipanen secara
tahunan, sehingga nilai produksi dari hasil hutan belum diketahui walaupun
secara langsung dapat dilihat semakin membesarnya batang pohon jati.
Begitu pun dengan HKm tani Mandiri
yang mengelola kawasan hutan lindung, sebagian besarnya ditanami pohon jati,
akasia, sonokeling dan mahoni. Dikedua
HKm tani tersebut belum terlihat peningkatan produksi karena termasuk kawasan
hutan lindung.
Data yang dapat kita lihat adalah
data produksi meningkatnya HKm adala sebesar 56,50% dan yang tidak meningkat
sebanyak 43,50%.
DAMPAK PENDAPATAN
Meningkatnya produksi tentunya akan
berdampak pula dengan pendapatan, namun ini juga tergantung dengan fluktuasi
harga komoditas yang diproduksi dan
dijual ke pasar.
Pendapatan yang diperoleh oleh
petani HKm sangat bervariasi, yang sebagian besar berada pad interval Rp.1-20
juta pertahun, yaitu sebanyak 53,5%. Pada interval Rp20-40 juta sebanyak 25%. Sedangkan
untuk pendapatan pada interval Rp60-70 juta sebanyak 5,5%. Dan untuk pendapatan
pada interval 80-140 juta per tahun hanya sebanyak 4%. Rata-rata pendapatan
petani HKm adalah sebesar Rp28,3 juta dalam kurun waktu satu tahun atau Rp2,36
juta per bulan.
Buku mengenai Dampak Perhutanan Sosial ini menyajikan fakta yang ada berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dibeberapa daerah terhadap dampak dari program Hutan Kemasyarakatan.